| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Senin, 03 September 2012 Peringatan Wajib St. Gregorius Agung, Paus, Pujangga Gereja

Senin, 03 September 2012
Peringatan Wajib St. Gregorius Agung, Paus, Pujangga Gereja

Demi cinta akan Tuhan, tak henti-hentinya aku mengajarkan tentang Dia --- St. Gregorius Agung

Antifon Pembuka

Orang ini dipilih Tuhan sendiri, diangkat-Nya menjadi imam agung. Harta Allah terbuka baginya, kurnia ilahi melimpahi hatinya.

Doa Pagi

Bapa yang mahabaik, bimbinglah langkah hidup kami agar dengan kekuatan dan penerangan Roh Kudus-Mu kami semakin mengenal Yesus Putra-Mu, Sang Juruselamat kami. Dengan penuh semangat kami hendak mewartakan kasih-Mu kepada sesama. Sebab Dialah Tuhan, Pengantara kami. Amin.

Bacaan dari Surat Pertama Rasul Paulus kepada umat di Korintus (1Kor 2:1-5)
   
"Aku mewartakan kepadamu kesaksian Kristus yang tersalib."
 
Saudara-saudara, ketika aku datang kepadamu, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.

Mazmur Tanggapan
Ref. Betapa besar cintaku kepada hukum-Mu, ya Tuhan.
Ayat. (Mzm 119:97.98.99.100.101.102; Ul: 97a)
1. Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari.
2. Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku.
3. Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan.
4. Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu.
5. Terhadap segala jalan kejahatan aku menahan kakiku, supaya aku berpegang pada firman-Mu.
6. Aku tidak menyimpang dari hukum-hukum-Mu, sebab Engkaulah yang mengajar aku.

Bait Pengantar Injil, do = f, 2/4, PS 956
Ref. Alleluya, alleluya, alleluya. Alleluya, alleluya, alleluya.
Ayat. Roh Tuhan menyertai Aku; Aku diutus Tuhan mewartakan kabar baik kepada orang-orang miskin.

Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas (4:16-30)

"Aku diutus menyampaikan kabar baik kepada orang miskin. Tiada nabi yang dihargai di tempat asalnya."
 
Sekali peristiwa datanglah Yesus di Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: "Bukankah Ia ini anak Yusuf?" Maka berkatalah Ia kepada mereka: "Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!" Dan kata-Nya lagi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu." Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.
Inilah Injil Tuhan kita!
U. Sabda-Mu sungguh mengagumkan!   

MINGGU BIASA XXII – B (2 September 2012)


MINGGU BIASA XXII – B (2 September 2012)
Ul 4:1-2.6-8; Yak 1:17-18.21b-22.27; Mrk 7:1-8.14-15.21-23

Hari ini memasuki Minggu pertama di bulan September yang oleh Gereja Indonesia dijadikan sebagai sebagai Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Kebiasaan menjadikan bulan September sebagai Bulan Kitab Suci ini berawal dari ajakan Konsili Vatikan II (1963 – 1965) agar kazanah Kitab Suci dibuka selebar-lebarnya dan seluruh umat diharapkan semakin tekun membaca Kitab Suci (DV 22). Untuk itu, diperlukan Kitab Suci dalam bahasa setempat. Maka, setelah Konsili Vatikan II, dibuatlah kerjasama antara Gereja Kristen (LAI: Lembaga Alkitab Indonesia) dan Gereja Katolik (LBI: Lembaga Biblika Indonesia) untuk menterjemahkan Kitab Suci ke dalam Bahasa Indonesia. Setelah tersedia Alkitab edisi lengkap pada tahun 1976, Gereja Katolik, dalam sidang para Uskup pada tahun 1977, menetapkan agar Hari Minggu Pertama bulan September dijadikan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan-kegiatan umat untuk semakin mencintai Kitab Suci ditambah menjadi sepanjang bulan September.
Maksud utama diadakan BKSN adalah agar umat semakin mencintai Kitab Suci dengan membaca/mendengarkan, merenungkan, dan melaksanakan Sabda Tuhan. Maksud ini mendapatkan dukungan dari bacaan-bacaan hari ini, terutama bacaan pertama dan kedua. Dalam bacaan pertama, Musa menasihati umat Israel, “Hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup, … Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa” (Ul 4:1.6). Pesan ini semakin ditegaskan oleh Santo Yakobus dalam bacaan kedua, “Terimalah dengan lemah lembut Firman yang tertanam dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. Hendaklah kamu menjadi pelaku Firman, dan bukan hanya pendengar” (Yak 1:21b.22). Jadi, pesannya jelas. Kita diharapkan menjadi orang-orang yang setia mendengarkan dan melakukan sabda Tuhan.
Kesetiaan mendengarkan dan melakukan sabda Tuhan ini, oleh Musa dikaitkan dengan jati diri kita sebagai orang yang bijaksana dan berakal budi. Di satu sisi, sabda Tuhan yang kita baca/dengarkan, kemudian kita renungkan dan kita pahami dengan baik akan semakin mempertajam akal budi dan meningkatkan kebijaksanaan kita. Sebab, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2Tim 3:16.17).
Di sisi lain, kita memerlukan akal budi dan kebijaksanaan untuk dapat mendengarkan, memahami dan melaksanakan sabda Tuhan dengan baik. Sebab, akal budi dan kebijaksanaan akan menjauhkan kita dari sikap yang kaku dan legalis terhadap hukum dan peraturan agama yang merupakan salah satu isi dari sabda Tuhan. Maka, orang yang mampu mendengarkan sabda Tuhan dengan akal budi dan kebijaksannnya akan terhindar dari sikap munafik seperti orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat yang ditegur secara keras oleh Yesus.
Dalam bacaan Injil tadi, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat mengkritik murid-murid Yesus yang makan dengan tangan najis, yaitu tanpa dicuci terlebih dahulu. Kritikan ini, sebenarnya bisa ditanggapi dengan baik, karena mencuci tangan sebelum makan itu baik untuk kesehatan. Namun, konteks kritikan itu disampaikan oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang selalu mencari-cari kekurangan Yesus dan berupaya menjatuhkan-Nya. Maksud mereka bukan demi kebaikan tetapi untuk memperburuk citra Yesus di mata para pengikut-Nya. Maka, Yesus membuka kedok mereka dengan mengutip nubuat Yesaya, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia....Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri.” (Mrk 7:6-9). Dari sinilah, Yesus kemudian berbicara mengenai inti pokok persoalan, yakni kenajisan. Yesus mengajak mereka untuk memahami hukum kenajisan secara bijaksana dalam terang akal budi.
Najis berarti tidak kudus, tidak layak di hadapan Tuhan. Selama itu, orang Israel mengaitkan kenajisan dengan sesuatu atau seseorang di luar dirinya. Artinya, orang menjadi najis ketika bersentuhan dengan barang atau orang yang najis, misalnya: wanita haid, orang kusta, orang mati, dan binatang tertentu. Oleh karena itu, orang-orang di zaman Yesus diharuskan mencuci tangan sepulang dari pasar, karena siapa tahu barang yang mereka beli pernah disentuh orang yang najis atau siapa tahu mereka di pasar bersenggolan dengan barang dan orang najis.
Yesus merombak itu semua. Ia berkata kepada orang banyak: Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya (Mrk 7:14-15). Yesus memberikan makna baru mengenai kenajisan. Seseorang menjadi tidak kudus dan tidak layak di hadapan Tuhan, bukan karena makanan yang dimakan, tetapi karena pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” yang keluar melalui pikiran, mulut dan tindakan (Mrk 7:20-23). Semua yang disebutkan Yesus ini merupakan contoh-contoh kejahatan yang membuat manusia tidak kudus dan tidak layak di hadapan Tuhan.
Demikianlah kita mencoba mengaitkan antara sabda Tuhan, yang salah satunya berisi hukum/peraturan, dengan akal budi dan kebijaksanaan yang merupakan salah satu kekhasan jati diri kita sebagai manusia. Di satu sisi, dengan akal budi dan kebijaksanaan, kita akan dapat mendengarkan, memahami dan melakukan sabda Tuhan dengan baik. Di sisi lain, kesetiaan kita untuk mendengarkan, merenungkan, memahami dan melakukan sabda Tuhan akan semakin mempertajam akal budi dan meningkatkan kebijaksanaan kita.
Kepada kita, sabda Tuhan memberikan informasi mengenai hal-hal baik yang harus kita lakukan sesuai kehendak Tuhan sekaligus mengenai hal-hal jahat yang harus kita hindari supaya kita tetap kudus dan layak di hadapan Tuhan. Tidak hanya itu, sabda Tuhan juga memberi daya transformasi yang memampukan kita untuk mengubah hidup kita menjadi lebih baik, lebih mencintai Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, pada Bulan Kitab Suci Nasional ini, marilah kita semakin mencintai Kitab Suci dengan semakin tekun membaca/mendengarkan, merenungkan dan melaksanakannya.
Berbahagialan orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya.

Rm. Ag. Agus Widodo, Pr

Kobus: (Mrk 7:1-9.14-15.21-23) Hari Minggu Biasa XXII




silahkan klik gambar untuk memperbesar

Minggu, 02 September 2012 Hari Minggu Biasa XXII

Minggu, 02 September 2012
Hari Minggu Biasa XXII
- Pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional -

Kewajiban-kewajiban keluarga atau tugas-tugas sosial yang penting memaafkan secara sah perintah mengikuti istirahat pada hari Minggu --- Katekismus Gereja Katolik, 2185

Antifon Pembuka (Mzm 86:3.5)

Engkau adalah Allahku, kasihanilah aku, ya Tuhanku, sebab kepada-Mulah aku berseru sepanjang hari. Sebab Engkau ya Tuhan baik dan suka mengampuni, dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.

Doa Pagi

Allah Bapa yang Mahakudus, ibadat lahiriah semata-mata tak berkenan di hati-Mu. Engkau menghendaki agar kami mengabdi-Mu setulus hati sehingga persembahan kami benar-benar nyata. Pada diri Yesus Putra-Mu telah Kaunyatakan hukum baru, yaitu hukum cinta kasih dan kebenaran. Berilah kami kekuatan agar dapat melaksanakan kehendak-Mu dan mengabdi kepada-Mu dalam kebenaran. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.

Bacaan dari Kitab Ulangan (4:1-2.6-8)

"Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu; dengan demikian kamu berpegang pada perintah Tuhan."


Di padang gurun seberang Sungai Yordan Musa berkata kepada bangsanya, “Hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup, dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allah nenek moyangmu. Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu, dan janganlah kamu menguranginya; dengan demikian kamu berpegang pada perintah Tuhan, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu. Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaan dan akal budimu di mata bangsa-bangsa. Begitu mendengar segala ketetapan ini mereka akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi! Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan, Allah kita, setiap kali kita berseru kepada-Nya? Dan bangsa besar manakah yang mempunyai ketetapan dan peraturan demikian adil seperti seluruh hukum yang kubentangkan kepadamu pada hari ini?
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.

Mazmur Tanggapan, do = f, ¾, PS 848
Ref. Tuhan siapa diam di kemah-Mu, siapa tinggal di gunung-Mu yang suci?
Ayat. (Mzm 15:2-3a.3cd-4ab.5)
1. Yaitu orang yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya; yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya.
2. Yang tidak berbuat jahat terhadap teman, dan tidak menimpakan cela kepada tetangganya; yang memandang hina orang yang tercela, tetapi menjunjung tinggi orang-orang yang bertakwa.
3. Yang tidak meminjamkan uang dengan makan riba, dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah. Siapa yang berlaku demikian tidak akan goyah selama-lamanya.

Bacaan dari Surat Rasul Yakobus (1:17-18.21b-22.27)

"Hendaklah kamu menjadi pelaku firman."

Saudara-saudaraku yang terkasih, setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang. Pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan pertukaran. Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya pada tingkat yang tertentu kita menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya. Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. Hendaklah kamu menjadi pelaku firman, dan bukan hanya pendengar! Sebab jika tidak demikian, kamu menipu diri sendiri. Ibadah sejati dan tak bercela di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemari oleh dunia.
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.

Bait Pengantar Injil, do = f, 2/4, PS 956
Ref. Alleluya, alleluya, alleluya. Alleluya, alleluya, alleluya.
Ayat. (Yak 1:18)
Atas kehendak-Nya sendiri, Allah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya.

Inilah Injil Yesus Kristus menurut Markus (7:1-8.14-15.21-23)

"Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia."

Pada suatu hari serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. Mereka melihat beberapa murid Yesus makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Sebab orang-orang Farisi – seperti orang-orang Yahudi lainnya – tidak makan tanpa membasuh tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang. Dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas tembaga. Karena itu, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada Yesus, “Mengapa murid-murid-Mu tidak mematuhi adat istiadat nenek moyang kita? Mengapa mereka makan dengan tangan najis?” Jawab Yesus kepada mereka, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sebab ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka, “Dengarkanlah Aku dan camkanlah ini! Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskan dia! Tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan dia! Sebab dari dalam hati orang timbul segala pikiran jahat, pencabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”
Berbahagialah orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya.
U. Sabda-Mu adalah jalan, kebenaran dan hidup kami.

Renungan


Sabda Yesus pada Hari Minggu Kitab Suci Nasional ini amat menggugah hati. Yesus mengingatkan sejumlah orang Farisi dan ahli Taurat dalam dua hal. Pertama, agama berikut aturan, tata upacara dan pemahaman tentang ajarannya hanya merupakan sarana untuk mengembangkan Iman sejati akan Allah selaku tujuan tujuan hidup bersama. Kedua, kebusukan hidup tidak berasal dari luar diri manusia tetapi berasal dari hati manusia. Sebab "dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan , perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan."


Kita kerap merasa bangga dapat menyelenggarkan upacara keagamaan dengan meriah, berlangsung lancar sesuai dengan tata aturan yang ada. Namun kebanggaan itu baru berarti jika orang tidak bertepuk tangan untuk panitia, pemimpin upacara, paduan suara dan besarnya kolekte tetapi bertepuk tangan karena mengalami Allah menyatukan, mencintai, meneguhkan bahkan berdiam di dalam diri mereka. Kita juga kadang begitu mudah mempersalahkan orang lain sebagai sumber kebusukan bersumber dari hati setiap manusia. Jika kita berlaku baik, adil, jujur, benar, maka kebusukan hidup tidak akan menguasai kita.


Yesus, ampunilah aku karena begitu mudah aku mempersalahkan sesamaku sebagai sumber kebusukan dalam hidup ini, dan beri aku rahmat agar mampu melihat kebaikan dalam diri sesamamu. Amin.

Renungan Harian Mutiara Iman 2012

Kerangka Pertemuan Pendalaman Kitab Suci BKSN 2012

Selama Bulan Kitab Suci 2012 ini kita akan mendalami Kitab Suci dengan mempergunakan metode Lectio Divina. Untuk memahami tentang Lectio Divina, baiklah kita lebih dulu mengingat kembali apa itu doa. Ketika orang berdoa, ia berkomunikasi dengan Allah. Komunikasi yang dimaksudkan bukanlah komunikasi satu arah, dalam arti hanya satu pihak yang berbicara, melainkan komunikasi dua arah (dialog). Doa merupakan dialog antara Allah dengan kita. Ketika Allah bersabda, kita mendengarkan lalu kita menyampaikan tanggapan terhadap Sabda Allah itu. Sabda yang telah didengarkan itulah yang dibawa ke dalam kehidupan untuk dilaksanakan.

Doa sebagai dialog ini dapat dilaksanakan dalam Lectio Divina, yaitu pembacaan Kitab Suci yang direnungkan dengan tujuan:

  • Berdoa dari Kitab Suci.
  • Hidup dari Sabda Allah.

Allah bersabda ketika kita membaca Alkitab (Lectio) dan kita mendengarkan lalu merenungkan untuk memahaminya (Meditatio). Selanjutnya kita menyampaikan tanggapan dalam doa (Oratio). Sabda Allah yang kita dengarkan itu selalu kita ingat setiap saat dalam kehidupan kita (Contemplatio) dan kita jalankan dalam kehidupan nyata (Actio).
  1. Lectio. Pada tahap Lectio ini kita membaca teks untuk memahami apa yang dikatakan oleh teks. Dalam Kelompok Kitab Suci tahap ini dapat dilakukan demikian: Pemandu membacakan dan memberi penjelasan atau berdiskusi untuk memahami isi teks.
  2. Meditatio. Pada tahap meditatio, kita berusaha menemukan arti teks dan menerapkannya pada diri sendiri. Dalam Kelompok Kitab Suci, para peserta diajak masuk dalam suasana hening dengan mata terpejam untuk: Membayangkan peristiwa yang diceritakan atau mengingat kembali teks. Mencari: “Pesan apa yang saya pelajari dari Sabda yang baru direnungkan.” Apa peran pesan itu bagi saya: mengingatkan, menegur, menguatkan, menghibur? Kemudian para peserta diminta untuk membuka mata lalu menuliskan pesan yang baru direnungkan dan membagikan kepada peserta lain tentang pesan yang direnungkannya, dengan membacakan apa yang sudah ditulisnya. Contoh (Orang Samaria yang murah hati): Dari perumpamaan ini saya melihat orang Samaria sebagai teladan dalam menolong: ia mau menolong mulai dari melihat, tergerak hatinya, dan melakukan pertolongan. Melalui perumpamaan ini Tuhan Yesus mengingatkan saya karena selama ini hanya melihat dan tergerak oleh belas kasihan, tetapi jarang mau memberikan pertolongan.
  3. Oratio. Pada tahap ini, kita menyampaikan doa yang digerakkan dan diilhami oleh Sabda. Doa ini merupakan tanggapan kita atas Sabda yang baru kita dengarkan, bisa berupa pujian, syukur, permohonan, dan sebagainya. Dalam Kelompok Kitab Suci, perserta diajak untuk mempersiapkan doa secara tertulis. Contoh (bacaan tentang Orang Samaria yang murah hati): Allah Bapa mahapengasih, anugerahkanlah belas kasih dalam diri kami agar mampu memberikan pertolongan yang nyata kepada sesama yang mengalami kesulitan. Kemudian satu demi satu, peserta diminta untuk membacakan doa yang telah dituliskan. Rangkaian doa ditutup dengan doa “Bapa Kami.”
  4. Contemplatio. Contemplatio merupakan sikap hidup di hadirat Allah. Kita menjalani kehidupan sambil memandang Allah dan selalu menyadari bahwa Allah itu sealu kita ingat dalam kehidupan kita.
  5. Actio. Actio merupakan tindakan nyata untuk melaksanakan Sabda Allah yang didengarkan. Dengan demikian, kehendak Allah yang dinyatakan dalam Kitab Suci terlaksana dalam kehidupan kita.

Catatan:

Karena yang penting adalah bersama-sama membaca dan merenungkan teks-teks suci, jumlah peserta yang ideal adalah yang memungkinkan semua peserta terlibat (membaca, merenung, bertanya, atau berpendapat), yakni antara 5-10 orang. Jadi jika yang datang dalam Pendalaman Kitab Suci di lingkungan hanya sedikit, jangan berkecil hati.


Sumber: Gagasan Pendukung dan Pendalaman Kitab Suci, LBI, 2012
http://rudimu.wordpress.com/

Bulan Kitab Suci Nasional 2012: Menyaksikan Mukjizat Tuhan

“Hari ini kami telah menyaksikan hal-hal yang sangat menakjubkan”. (Luk. 5:26)

Gagasan Pendukung:

Mukjizat.


Tahun 1975-1976 boleh dikatakan merupakan tahun-tahun awal bagi apa yang sekrang disebut dengan Bulan Kitab Suci Nasional. Selama kira-kira 35 tahun sejak saat itu, aneka macam tema sudah ditawarkan dan dibahas bersama umat dalam rangka menggairahkan minat umat beriman kepada Kitab Suci. Pada bulan Kitab Suci tahun 2011, umat beriman diajak mendengarkan dan merenungkan perumpamaan-perumpamaan Sang Guru, yaitu Yesus. Pada kesempatan yang sama untuk tahun ini, tahun 2012, umat beriman diajak mendengarkan dan merenungkan mukjizat-mukjizat yang dikerjakanNya.

Dalam karya Yesus, perumpamaan dan mukjizat memang tidak bisa dipisahkan. Keduanya berkaitan amat erat dan saling menentukan. Keduanya menjadi unsur pokok dari karya publik Yesus. Silakan membaca Injil dan kita akan menyadari bahwa yang dibuat oleh Yesus dalam pelayanan publik-Nya, praktis hanya dua hal, yaitu apa yang Ia katakan dan apa yang Ia lakukan, atau dengan pasangan kata yang lain, SABDA dan KARYA. Dari sekian banyak pengajaran yang diberikan oleh Yesus, beberapa di antaranya adalah perumpamaan; sementara dari sekian banyak yang dibuat oleh Yesus , beberapa di antaranya adalah tindakan yang kerap kali disebut mukjizat. Karena itu, memang merupakan suatu langkah yang pas kalau tahun ini kita membahas mukjizat setelah tahun sebelumnya, kita merenungkan kata-kata atau Firman Yesus, khususnya yang berbentuk perumpamaan. Untuk membantu jemaat beriman memasuki Bulan Kitab Suci tahun 2012, disusunlah gagasan pendukung ini.

Lalu bagaimana gagasan pendukung ini mau dikemas? Mukjizat-mukjizat Yesus bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Karena itu, kita mencoba membahas beberapa aspek penting dari mukjizat itu agar mempunyai gambaran yang kurang lebih lengkap tentang mukjizat-mukjizat Yesus. Selain beberapa ulasan tentang mukjizat secara umum, akan disampaikan juga pembahasan empat kisah mukjizat yang akan kita jadikan bahan dalam pertemuan Bulan Kitab Suci Nasional 2012.

Pertemuan I: Menyembuhkan Orang Lumpuh (Matius 9:1-8).
Pertemuan II: Mengusir Roh Jahat di Gerasa (Markus 5:1-20).
Pertemuan III: Anak Muda di Nain. (Lukas 7:11-17).
Pertemuan IV: Mengubah Air Menjadi Anggur. (Yohanes 2:1-11).

Yesus dan Mukjizat-mukjizat-Nya

Tidak bisa dipungkiri bahwa kata mukjizat bagai magnet yang mengundang banyak orang untuk memperbincangkan dan mempersoalkannya. Tidak harus dipungkiri bahwa mukjizat bisa kita teropong dari berbagai macam sudut, baik dalam konteks religius maupun di luar konteks religius. Akan tetapi, karena pada hari-hari ini kita mau membahas mukjizat dalam rangka Bulan Kitab Suci, maka tepatlah kalau kita mengawali pembicaraan tentang mukjizat ini dari Kitab Suci. Bahwa nanti kita juga akan menyinggung kisah mukjizat dari perspektif lain, itu lain perkara.

Lukas memberi kesaksian bahwa pada suatu hari ketika Yohanes Pembaptis mendengar kabar dari murid-muridnya tentang apa yang diperbuat oleh Yesus, ia mengutus dua di antara muridnya untuk menghadap Yesus dengan membawa pertanyaan ini, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain?” Dan kepada mereka, Yesus memberikan jawaban demikian, “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi sembuh, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” (Luk. 7:22, bdk. Mat. 11:4-5). “…apa yang kamu lihat dan kamu dengar…” Kata-kata Tuhan ini biasanya menunjuk pada dua unsur pelayanan Yesus, yaitu ‘yang dilihat’ atau karya atau tindakan Yesus ‘yang didengar’ atau pewartaan atau sabda Yesus.

Pada kesempatan lain, tatkala menceritakan pengalaman dua murid yang sedang berjalan dari Yerusalem ke Emaus, Lukas mengisahkan pembicaraan antara dua murid itu dengan Yesus yang bangkit, tetapi tidak mereka kenal. Tentang Yesus dari Nazaret, dua orang itu mengatakan, “Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan seluruh bangsa kami” (Luk. 24:9). Sekali lagi di sini dipakai rumusan ‘pekerjaan dan perkataan’.

Kalau kita membuka Injil-khususnya Injil pertama, kedua, dan ketiga- kita akan bertemu dengan sekian banyak kisah mukjizat Yesus. Terus terang tidak mudah menentukan secara persis berapa mukjizat yang sebenarnya dikerjakan oleh Yesus. Bisa terjadi satu peristiwa diceritakan beberapa kali dengan detail yang sedikit agak berbeda. Meskipun demikian, secara umum, bisa dikatakan bahwa kisah mukjizat Yesus terdapat dalam daftar di bawah ini:

11 mukjizat

Matius

Markus

Lukas

4 mukjizat

Matius


Lukas

1 mukjizat


Markus

Lukas

2 mukjizat

Matius


Lukas

3 mukjizat

Matius



2 mukjizat


Markus


7 mukjizat



Lukas

Persoalannya semakin merepotkan karena kadangkala kita juga berhadapan dengan teks yang hanya menyebutkan bahwa telah terjadi mukjizat tanpa mengisahkan apa dan bagaimana terjadinya. Misalnya, di antara para ibu yang mengikuti Yesus, ada seorang yang oleh Lukas disebut demikian, “Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat?” (Luk.8:2 bdk. Mrk. 16:9). Tampaklah atas diri Maria Magdalena pernah terjadi mukjizat pengusiran setan. Tetapi, di dalam Injil tidak ada kisah mendetail tentang hal itu. Belum lagi kalau kita berhadpan dengan informasi seperti ini:

“Yesus pun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadan dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta menyembuhkan orang-orang di antara bangsa itu dari segala penyakit dan kelemahan mereka. Lalu tersebarlah berita tentang Dia di seluruh Siria dan dibawalah kepadaNya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita berbagai penyakit dan senggsara, yang kerasukan setan, yang sakit ayan, dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka. (Mat.4:22-23).

Dari teks seperti ini, yang lazim disebut sebagai Summarium, kita hanya tahu bahwa mukjizat terjadi. Tetapi sekali lagi, kita sama sekali tidak tahu berapa kali mukjizat Yesus terjadi, mukjizat apa yang terjadi, atau bagaimana mukjizat itu terjadi.

Di dalam tradisi Injil Yohanes, kita hanya mendapatkan tujuh mukjizat dalam bagian pertama Injil, yang biasa disebut Kitab Tanda-Tanda. (Yoh.1-12) dan satu lagi pada bagian appendiks (Yoh. 21). Dalam Injil Yohanes, dipergunakan istilah ‘tanda’ (semeion) untuk menyebut mukjizat (lht Yoh. 2:11; 4:54). Mukjzat-mukjzat itu bisa kita perinci sebagai berikut:

  • Tiga mukjizat penyembuhan (Yoh. 4:43-54; 5:1-47; 9:1-41).
  • Satu mukjizat menghidupkan orang mati. (Yoh. 11:1-44).
  • Empat mukjizat alam. (Yoh. 2:1-12; 6:1-13; 6:16-21; 21:6-11).

Dari antara empat mukjizat alam ini ada dua yang mempunyai padanan dalam injil sinoptik, yaitu pemberian makan kepada lima ribu orang (Yoh.6:1-13 bdk. Mrk.6:30-44) dan Yesus berjalan di atas air (Yoh. 6:16-21 bdk. Mrk. 6:45-52).

Yang juga menarik dalam Injil Yohanes adalah bahwa Injil ini tidak mempunyai kisah mukjizat pengusiran setan. Di dalam Injil Yohanes memang tidak sekali pun disebutkan mengenai roh bisu atau roh jahat. Apakah hal ini mencerminkan suatu pemahaman yang lebih maju tentang setan dan penusiran setan? Dalam Yohanes 10:21, kita mendapatkan teks yang berbunyi, “Itu bukan perkataan orang yang kerasukan setan; dapatkan setan memelekkan mata orang-orang buta?” Menurut keterangan ini, setan atau roh jahat tampaknya tidak mempunyai kekuatan sebagaimana dikisahkan dalam Injil sinoptik, seperti : mengguncankan orang yang dirasukinya. (Mrk.1:26) atau berteriak-teriak (Mrk. 3:11), atau menyeret orang yang dimasukinya (Luk. 8:29).

Memperhatikan begitu banyaknya mukjizat yang diperbuat oleh Yesus, tampaknya kita perlu menyimpulkan bahwa karya mukjizat bukanlah pekerjaan sampingan saja. Mukjizat Yesus merupakan bagian integral dari seluruh karya pelayanan publik-Nya. Jika demikian, kita bisa bertanya: apa sebenarnya tugas utama yang mesti dilaksanakan oleh Yesus?

Mukjizat dan Ragamnya

Di dalam Injil

diceritakan sekian banyak mukjizat mengagumkan yang dibuat oleh Yesus. Flavius Josephus, sejarawan Yahudi abad pertama, juga memberi kesaksian tentang Yesus yang digambarkannya sebagai “pembuat karya-karya yang mengagumkan” (=paradoxon ergon poietes) (Ant. 18.3.3 @ 63-64). Di dalam Alkitab bahasa Indonesia, beberapa peristiwa luar biasa yang diperbuat oleh Yesus disebut mukjizat (Mrk.6:2.5; Luk. 10:13; 19:37; Mat. 13:54). Dalam teks aslinya tidak pernah ditemukan kata “mukjizat” (Latin: miraculum).

Injil Sinoptik menggunakan kata dynameis yang sebenarnya berarti “karya kuasa”. Injil Yohanes menggunakan kata erga, “karya, pekerjaan” (Yoh.5:36; 10:25.32) atau semeia yang berarti “tanda” (Yoh.2:11; 4:54; 9:16). Dua istilah yang dipakai oleh Yohanes mengalihkan perhatian kita dari memandang karya-karya istimewa yang mengatasi hukum alam menjadi karya-karya yang mempunyai makna dan arti religius. Mukjizat yang dibuat oleh Yesus tidak berhenti di situ, tetapi membawa kepada sesuatu yang ada di baliknya. Sementara istilah pertama, dynameis, lebih menunjuk kepada pribadi Yesus dan kerajaan yang Ia wartakan. Dengan demikian semua mempunyai ciri Kristologis.

Dari Injil, kita juga tahu bahwa ada beberapa macam mukjizat yang dikerjakan oleh Yesus. Karena kisahnya terlalu bervariasi, tidak mudah untuk menentukan jenis mukjizat macam apa yang secara konkret diperbuat oleh Yesus. Secara umum, mukjizat Yesus dapat dimasukkan ke dalam empat golongan: Penyembuhan, Pengusiran Setan, Menghidupkan Orang Mati, dan mukjizat alam.

Mukjizat dan Pengusiran Setan

Gagasan bahwa roh jahat bisa mengganggu manusia, baik dari luar maupn dari dalam (kerasukan setan) sebenarnya merupakan gagasan yang berkembang luas dimana-mana. Bahkan sampai saat ini, di generasi ‘Tablet’ ini kita masih mendengar kisah-kisah seperti itu. Kisah orang kerasukan setan serta eksorsisme terus saja menjadi kisah yang menyita perhatian khalayak.

Catatan yang terdapat dalam Alkitab menunjukkan bahwa para murid Yesus yang pertama meyakini bahwa mereka mendapatkan kuasa mengusir setan/roh jahat dari Yesus sendiri sebagai bagian dari pengutusan mereka. (Mrk.6:7; Mat.10:1.8; Luk. 9:1). Tidak hanya itu, satu kali Injil Markus bahkan mencatat bahwa seorang yang bukan pengikut Yesus juga mengusir setan atas nama-Nya (Mrk. 9:38-40). Kisah Para Rasul menceritakan bahwa Paulus mampu mengusir roh jahat yang merasuki seseorang (Kis. 16:16-18; bdk. Kis. 19:12). Sementara itu beberapa dukun Yahudi berusaha meniru Paulus mengusir roh jahat dalam nama Yesus, tetapi ternyata tidak berhasil (19:13-17).

Seperti disinggung di atas, kecuali Injil Yohanes, Injil Sinoptik beberapa kali menceritakan bagaimana Yesus mengusir setan/roh jahat. Misalnya:

  • Pengusiran roh jahat di rumah ibadat Kapernaum (Mrk. 1:21-28; Luk.4:33-37).
  • Pengusiran roh jahat dari orang Gerasa (Mrk. 5:1-20 par).
  • Pengusiran roh dari seorang anak yang bisu (Mrk. 9:14-29 par).
  • Penyembuhan orang bisu yang kerasukan setan (Mat. 9:32-34).
  • Orang buta dan bisu yang kerasukan setan (Mat. 12:22-23; Luk. 11:14).
  • Pembebasan Maria Magdalena dari tujuh roh jahat. (Luk. 8:2).
  • Perempuan Siro-Fenisia yang anaknya kerasukan setan (Mrk.7:24-30; Mat.15:21-28).

Dalam mengusir roh jahat atau setan, Yesus tidak menggunakan teknik-teknik tertentu yang mungkin lazim dipergunakan waktu itu. Dia tidak berdoa, tidak melakukan gerak-gerak tertentu, tidak mengucapkan mantera tertentu, dan tidak menggunakan benda-benda tertentu. Yesus juga tidak mengusir setan atas nama seseorang seperti yang dilakukan orang (lih mis Kis. 16:18; 19:13). Yang diperbuat Yesus hanyalah membentak, menegor dengan keras, dan mengusir setan atau roh jahat yang merasuki seseorang.

Pengusiran setan menjadi bagian integral dari seluruh karya pelayanan Yesus yang mau membebaskan bangsa Israel dari segala penyakit dan kekuatan jahat yang mengakibatkan penderitaan dalam diri mereka. “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat. 19:28).

Mukjizat Penyembuhan

Mukjizat penyembuhan termasuk karya Yesus yang mempunyai ragam variasi. Akan tetapi dengan hanya membaca kisah-kisah tersebut, kita tidak tahu persis penyakit apa saja yang sebenarnya disembuhkan oleh Yesus. Gambaran yang disampaikan oleh para penulis Injil ditentukan oleh situasi orang zaman itu yang belum mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menentukan suatu penyakit. Di dalam Injil tidak ada medical record dari orang-orang yang menderita sakit dan disembuhkan oleh Yesus. Meskipun demikian, kita bisa menggolongkan mukjizat penyembuhan itu sebagai berikut:

  1. Terdapat empat atau lima kisah mukjizat penyembuhan orang lumpuh (Mrk. 2:1-12; Yoh 5:1-9; Mat. 8:5-13), orang yang tangannya mati sebelah (Mrk. 3:1-6), perempuan yang bungkuk punggungnya (Luk. 13:10-17). Di sini mungkin masih ditambahkan apa yang dirumuskan secara umum dalam Matius 11:5 yang mengatakan, “..orang lumpuh berjalan.” Semua kisah itu berasal dari tradisi yang berbeda-beda.
  2. Ada tiga kisah berbeda yang bersangkut-paut dengan penyembuhan orang buta (Mrk.10:46-52; Mrk. 8:22-26; Yoh. 9:1-47). Mungkin juga bisa ditambahkan rumusan umum, “orang buta melihat” (Mat.11:5).
  3. Dua kasus orang kusta (Mrk. 1:40-45 par; Luk. 17:11-19).
  4. Kasus-kasus yang hanya terjadi sekali: penyembuhan ibu mertua Petrus (Mrk. 1:29-31 par), perempuan yang sakit pendarahan (Mrk. 5:24-34 par), seorang yang sakit busung air (Luk. 14:1-6), seorang yang tuli dan gagap (Mrk. 7:31-37), hamba Imam Besar yang telinganya disembuhkan (Luk. 22:49-51).

Kalau kita memperhatikan banyaknya mukjizat penyembuhan yang dibuat oleh Yesus dan mempertimbangkan bahwa kisah-kisat itu sebenarnya berasal dari tradisi yang berbeda-beda, tidak bisa dikesampingkan kemungkinan bahwa semasa hidupNya, Yesus memang pernah melakukan tindakan-tindakan penyembuhan orang yang menderita sakit.

Menghidupkan Orang Mati

Menyembuhkan orang sakit saja sudah membuat heboh banyak orang, apalagi menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Boleh dikatakan bahwa mukjizat jenis ini yang paling merepotkan manusia modern. Beberapa ahli pernah berpendapat bahwa mukjizat jenis ini sebenarnya merupakan ciptaan Gereja Perdana untuk mengungkapkan keyakinan Gereja bahwa Kristus yang bangkit telah mengalahkan kuasa kematian.

Tetapi kita juga mempersoalkan bahwa gagasan seperti itu sebenarnya bertitik tolak dari sebuah penalaran tertentu. Karena mukjizat itu tidak bisa terjadi, demikian titik tolak berpikir banyak orang kisah-kisah Injil tentang mukjizat pasti tidak sungguh-sungguh terjadi. Kalau sekarang hal itu dianggap tidak bisa terjadi, dulu pun pasti tidak pernah terjadi. Atau kemungkinan orang memberi penjelasan bahwa orang mati yang dibangkitkan sebenarnya bukanlah orang yang benar-benar sudah mati. Apa yang mereka anggap ‘mati’ mungkin saja sebenarnya belum mati. Apalagi zaman itu, pemahaman medis tentu masih amat primitif dibandingkan zaman kita ini.

Tetapi, apakah hanya demikian? Dalam Perjanjian Lama terdapat beberapa cerita tentang seorang tokoh yang membangkitkan orang mati. Misalnya, Elia dan Elisa (I Raj. 17:17-24; IIRaj. 4:18-37; bdk II Raj. 13,20-21). Dalam Kisah Para Rasul, dikisahkan bahwa Petrus membangkitkan seorang perempuan bernama Tabita atau Dorkas (Kis.9:36-43). Beberapa tulisan Greko-Romawi memuat juga kisah-kisah tentang orang sudah mati yang dihidupkan kembali. Demikian juga beberapa kisah dalam tradisi Kristiani dan tradisi rabinik. Dengan demikian, mesti dikatakan bahwa sekalipun jumlahnya sedikit, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kisah penyembuhan dan pengusiran setan, kisah membangkitkan orang mati ternyata juga ada dan beredar. Karena itu, tradisi Kristiani awal yang mendengar atau mengisahkan kisah Yesus membuat mukjizat membangkitkan orang mati, sebenarnya tidak mendengar sesuatu yang sama sekali belum pernah didengar sebelumnya.

Di dalam Injil, sebenarnya hanya ada tiga kisah yang menceritakan Yesus membangkitkan orang mati:

  1. Membangkitkan anak Yairus (Mrk. 5:21-43 par) yang berasal dari tradisi Markus.
  2. Membangkitkan anak muda di Nain (Luk. 7:11-17), yang hanya terdapat dalam Injil Lukas dan berasal dari tradisi Lukas.
  3. Membangkitkan Lazarus (Yoh. 11:1-46), yang berasal dari tradisi Yohanes.

Di sini kita bisa menambahkan kata-kata Yesus yang biasanya dikatakan berasal dari tradisi Q (terdapat hanya dalam Matius dan Lukas), yaitu “…orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta sembuh, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” (Mat. 11:5 ; Luk. 7:22).

Data-data di atas menunjukkan bahwa ternyata setiap tradisi yang berada di belakang keempat Injil, ternyata menyimpan kisah Yesus yang membangkitkan orang mati. Dari sini kita hanya dapat mengatakan bahwa kisah mukjizat Yesus yang membangkitkan orang mati kemungkinan besar mempunyai dasar pada hidup dan pelayanan Yesus sendiri.

Di dalam Injil sebenarnya kita bertemu dengan dua model kisah pembangkitan orang mati atau kisah kebangkitan. Kedua model itu berbeda satu sama lain secara mencolok. Yang pertama adalah kisah kebangkitan orang mati yang terjadi semasa karya publik Yesus.

Dalam kisah ini mereka yang tadinya sudah mati mendapatkan kembali kehidupannya dengan segala sesuatunya. Tentang anak Yairus yang dibangkitkan dikatakan bahwa ia “berdiri dan berjalan”. (Mrk. 5:42). Sementara Yesus sendiri menyuruh mereka memberi anak itu makan (Mrk. 5:43). Anak seorang janda dari Nain, setelah dibangkitkan, ” duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya” (Luk. 7:15). Demikian juga Lazarus keluar dari kubur, “kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kafan dan mukanya tertutup dengan kain peluh” (Yoh. 11:44). Berbeda dengan yang terjadi pada Yesus. Ketika Ia bangkit, dikatakan bahwa, “kain kafan terletak di tanah, sedangkan kain peluh yang tadinya ada di kepala Yesus tidak terletak dekat kain kafan itu, tetapi terlipat tersendiri di tempat yang lain” (Yoh. 20:6-7).

Jika diperhatikan, ketiga kisah mukjizat membangkitkan orang mati mempunyai unsur-unsur yang sama:

  1. Yesus bertemu dengan orang yang sedang mengalami kesedihan karena kehilangan (kecuali Luk.7:11-17).
  2. Yesus berkata atau bertindak yang membangkitkan orang yang sudah mati itu.
  3. Reaksi dari orang yang mengamati.

Kalau kita mengamati struktur kisah ini, kita melihat bahwa sebenarnya kisah ini lebih mirip dengan mukjizat penyembuhan orang sakit. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa mukjizat pembangkitan orang mati lebih berkaitan dengan kehidupan fisik di dunia ini. Orang yang sudah mati, ‘disembuhkan’ dari ‘penyakit’ terakhir, yaitu kematian dan kemudian dikembalikan ke kehidupan sebelumnya

Kisah kedua adalah kisah tentang kebangkitan Yesus sendiri. Kisah ini sama sekali berbeda dengan kisah-kisah mukjizat yang diceritakan di atas. Yesus dibangkitkan tidak berarti bahwa Ia kembali ke kehidupan sebelumnya. Kebangkitan Yesus tidak berarti Ia kembali ke kehidupan yang lama, melainkan berpindah melintasi kematian menuju kepenuhan kehidupan abadi dalam persekutuan dengan Allah sendiri. Berbeda dengan mukjizat pembangkitan orang mati yang dalam Injil hampir selalu dikisahkan dengan lengkap, kita sama sekali tidak mempunyai narasi tentang kebangkitan Yesus.


Mukjizat Alam

Kelompok keempat biasanya disebut dengan ‘mukjizat alam, (Nature Miracle). Sebutan mukjizat alam rasanya terlalu umum dan tidak bisa menunjukkan ciri-ciri khusus dari masing-masing mukjizat ini. Kisah-kisah ini tidak mempunyai struktur yang jelas seperti misalnya yang terdapat dalam kisah-kisah penyembuhan (lihat di tulisan sehubungan dengan kisah pembangkitan orang mati). Entah karena alasan apa, tiba-tiba saja Yesus berjalan di atas air (Mrk. 6:45-52 bdk. Yoh. 6:16-21). Demikian juga kisah Yesus yang mengutuk pohon ara (Mrk. 11:12-14.20-21). Rasanya tidak ada alasan yang amat mendesak yang memaksa Yesus untuk berbuat demikian. Kita juga bisa bertanya, sebenarnya tindakan apa yang mengakibatkan sebuah mukjizat alam terjadi. Dalam ketiga mukjizat lainnya, hal ini cukup terlihat, misalnya Yesus menghardik roh jahat, atau memerintahkan si lumpuh untuk bangkit, atau yang lain. Tetapi di dalam kisah mukjizat alam, kita penuh tanda tanya. Apa yang menyebabkan terjadinya mukjizat penggandaan roti? Apakah pada saat Yesus ‘menengadah ke langit dan mengucap berkat’ ? (Misalnya Mrk. 6.41 passim).

Kita tidak perlu memasuki diskusi semacam ini, kita langsung saja melihat secara lebih mendetail mukjizat apa yang biasanya digolongkan ke dalam ‘mukjizat alam’ ini.

  1. Mukjizat Pemberian (Gift Miracle). Termasuk dalam kategori ini adalah kisah dimana benda atau hal-hal tertentu tersedia dengan cara yang amat mengherankan. Misalnya kisah penggandaan roti (Mrk. 6:30-44, dsb). Kisah perkawinan di Kana ketika Yesus mengubah air menjadi anggur (Yoh. 2:1-11).
  2. Mukjizat Penampakan Tuhan (Epiphany Miracle). Dalam mukjizat ini keilahian seorang pribadi tampak dengan jelas. Satu-satunya mukjizat yang termasuk dalam kategori ini adalah kisah Yesus yang berjalan di atas air (Mrk. 6:5-52 bdk. Yoh. 6:16-21).
  3. Mukjizat Penyelamatan (Resque Miracle). Kisah ini menceritakan penyelamatan entah dari angin badai yang mengamuk atau dari penjara. Sepanjang berkaitan dengan kisah Yesus, satu-satunya contoh untuk mukjizat jenis ini adalah kisah Yesus yang menenangkan angin ribut (Mrk. 4:35-41; Mat. 8:23-27; Luk. 8:22-25). Kisah lain di luar Injil bisa ditemukan misalnya dalam Kisah Para Rasul 5:17-25, yan gmenceritakan bagaimana para rasul dibebaskan dari penjara.
  4. Mukjizat Kutukan (Curse Miracle). Dengan kata-kataNya, sang pembuat mukjizat menyebabkan terjadinya sesuatu yang merugikan atau kerusakan. Satu-satunya contoh dari pengalaman Yesus adalah ketika ia mengutuk pohon ara yang tidak berbuah (Mrk. 11:12-14.20-21; Mat. 21:18-22).

Kalau kita mengamati kisah-kisah yang tersaji di atas, tampak bahwa setiap kisah hanya muncul sekali di dalam Injil. Hanya dua kisah saja yang diceritakan dua kali dalam tradisi yang berbeda, yaitu kisah Yesus berjalan di atas air (Yoh. 6:16-21; Mrk.6:4-52) dan kisah penggandaan roti (Mrk. 6:30-44 dsb; Yoh.6:1-15). Berkaitan dengan mukjizat Yesus, persis dua mukjizat ini yang menghubungkan tradisi sinoptik dengan tradisi Yohanes.



Sumber: Gagasan Pendukung dan Pendalaman Kitab Suci, LBI, 2012.
http://rudimu.wordpress.com/

Ensiklik Paus Benediktus XVI Tahun Iman 2012

TAHUN IMAN 2012
SURAT APOSTOLIK
YANG DITERBITKAN SEBAGAI “MOTU PROPRIO
“PINTU KEPADA IMAN”
DARI BAPA SUCI
BENEDI
KTUS XVI
UNTUK MENCANANGKAN TAHUN IMAN

1. “Pintu kepada Iman” (Kis. 14:27) senantiasa terbuka bagi kita, memasukkan kita ke dalam persekutuan hidup dengan Allah dan memberi tawaran untuk masuk ke dalam Gereja-Nya. Melintasi ambang pintu ini dimungkinkan apabila Sabda Allah diwartakan dan hati manusia membiarkan dirinya dibentuk oleh rakhmat yang senantiasa mampu mengubah. Memasuki pintu gerbang itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Ia mulai dengan baptisan (bdk. Rom. 6:4), dengan mana kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa kita, dan perjalanan itu akan berakhir dengan kematian yang memasukkan kita ke kehidupan kekal, buah dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang, dengan anugerah Roh Kudus, memang berkehendak menarik semua orang yang percaya kepada-Nya untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Yoh. 17:22). Beriman kepada Tritunggal –Bapa, Putra dan Roh Kudus– adalah percaya kepada Allah yang mahaesa yang adalah kasih (bdk. 1Yoh. 4:8), yaitu: Bapa, yang dalam kepenuhan waktu telah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan kita, yakni Yesus Kristus, yang melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya telah menebus dunia; Roh Kudus, yang membimbing Gereja mengarungi jaman sambil menantikan kedatangan Tuhan yang akan datang kembali dalam kemuliaan.

2. Sejak mulai memangku jabatan sebagai Pengganti Petrus, saya telah berbicara tentang perlunya menemukan kembali perjalanan iman kita itu, agar supaya ia dapat memberikan pencerahan yang lebih jelas atas kegembiraan dan semangat yang senantiasa diperbarui dari perjumpaan kita dengan Kristus. Dalam homili yang saya sampaikan pada Misa pentakhtaan saya sebagai Paus saya mengatakan: “Gereja, secara keseluruhan, bersama dengan semua pastor-pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk membimbing umat keluar dari pada gurun, menuju ke tempat kehidupan, ke dalam persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang Pemberi kehidupan, bahkan kehidupan yang berkelimpahan”.[1] Sering sekali terjadi, bahwa Umat Kristiani lebih menaruh perhatian kepada konsekwensi-konsekwensi sosial, budaya dan politis dari komitmen mereka, karena mereka berpendapat bahwa iman-keprcayaan akan dengan sendirinya menyatakan diri secara kentara di dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal kenyataannya, anggapan sedemikian itu bukan saja tidak bisa diandaikan terjadi dengan sendirinya, tetapi cukup sering bahkan secara terang-terangan diingkari[2]. Sementara di masa lampau sangat mungkin orang dapat mengenal kembali suatu matriks kemasyarakatan yang mempersatukan, yang secara luas diterima sebagai daya tarik kepada isi iman-kepercayaan dan nilai-nilai yang lahir dari sana, tetapi di masa sekarang ini rupanya hal itu tidak terjadi lagi pada kelompok-kelompok masyarakat luas dan itu adalah akibat dari adanya krisis iman yang mendalam yang telah menimpa banyak bangsa.

3. Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau bahwa pelita ditaruh di bawah gantang (lih. Mat. 5:13-16). Orang-orang jaman sekarangpun masih bisa mengalami kebutuhan pergi ke sumur, seperti wanita Smaria, untuk mendengar Yesus mengundang kita untuk percaya kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari dalam diri-Nya (lih. Yoh. 4:14). Kita harus menemukan kembali cita-rasa sedapnya menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah diserah-alihkan kepada Gereja, dan atas roti kehidupan yang telah diserahkan bagi kehidupan para murid-Nya (bdk. Yoh. 6:51). Sungguh, pada jaman inipun ajaran Yesus masih tetap bergema kuat: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 6:27), Bahkan pertanyaan yang kita ajukan sekarangpun masih sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh para pendengar pada waktu itu: "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" (Yoh. 6:28). Maka percaya kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk sampai dengan pasti kepada keselamatan.

4. Atas dasar itu semua maka saya telah mengambil keputusan untuk mencanangkan suatu Tahun Iman. Tahun itu akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, yakni hari ulang tahun yang ke limapuluh dari pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November 2013. Tanggal yang mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, merupakan juga hari ulang tahun yang ke duapuluh dari publikasi buku Katekismus Gereja Katolik, sebuah naskah yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu saya, Beato Yoahnes Paulus II[3], dengan maksud untuk memberikan kepada segenap umat beriman gambaran tentang kekuatan dan keindahan iman-kepercayaan kita. Dokumen tersebut, sebagai buah yang otentik dari Konsili Vatikan II, telah diminta oleh Synode Luar-biasa Para Uskup pada tahun 1985 untuk dijadikan sarana-bantu bagi pelayanan Katekese[4] dan telah diterbitkan dalam kerja-sama dengan semua Uskup dalam Gereja Katolik. Tambahan pula, tema dari Sidang Umum Synode Para Uskup yang telah saya undang untuk bulan Oktber 2012 yang akan datang ini adalah: “Evangelisasi Baru utuk Mentransmisikan Iman Kristiani”. Hal itu akan menjadi kesempatan yang baik untuk untuk menghantar masuk segenap Gereja ke dalam suasana refleksi yang khusus dan menemukan kembali iman-kepercayaannya. Ini bukan yang pertama kalinya Gereja dipanggil untu merayakan suatu Tahun Iman. Pendahulu saya yang Mulia Hamba Tuhan Paus Paulus VI pernah memaklumkan itu pada tahun 1976, untuk memperingati kemartiran santo Petrus dan Santo Paulus pada peringatan semblan belas abad tindakan yang paling luhur dari kesaksian mereka. Menurut hemat Beliau iulah saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja untuk untuk menyatakan “suatu pengakuan yang otentik dan tulus dari iman-kepercayaan yang sama”. Apalagi beliau menghendaki bahwa hal itu masih dikuatkan lagi dengan cara “baik pribadi maupun bersama-sama, baik secara bebas namun bertanggngjawab, baik secara lahir maupun secara batin, dengan rendah hati dan berterus-terang”[5]. Beliau berpendapat, bahwa dengan cara demikian seluruh Gereja dapat memulihkan kembali “pemahaman yang tepat atas iman-kepercayaan itu, sehingga dengan demikian juga menguatkannya, memurnikannya, dan mengakuinya”[6]. Perayaan besar-besaran Tahun itu semakin menunjukkan betapa umat memang membutuhkan perayaan semacam itu. Upacara penutupannya dengan Pengakuan Iman Umat Allah[7] dimaksudkan untuk menunjukkan, betapa muatan hakiki iman itu yang selama berabad-abad telah membentuk warisan segenap orang yang percaya itu, perlu ditegaskan, dipahami dan diselidiki lagi secara baru, agar supaya kesaksian iman itu menjadi konsisten dengan hal-ikhwal sejarah semasa yang berbeda sekali dengan yang dari masa lampau

5. Dalam arti tertentu, Yang Mulia Pendahulu saya itu melihat Tahun Iman ini sebagai suatu “konsekwensi dan kebutuhan dari masa pasca konsili”[8], sambil menyadari sepenuhnya tentang kesukaran-kesukaran jaman yang serius, teristimewa yang berkaitan dengan pengakuan iman yang sejati dan penafsirannya yang benar. Menurut hemat saya timing peluncuran Tahun Iman yang bertepatan dengan ulang tahun ke lima-puluh pembukaan Konsili Vatikan II itu akan memberikan kesempatan yang sangat bagus dalam membantu umat untuk memahami, bahwa naskah dokumen yang telah diwariskan oleh para Bapa Konsili itu, dengan kata-kata Beato Yohanes Paulus II, “sama sekali belum kehilangan nilai dan kecemerlangannya”. Naskah-naskah itu perlu dibaca dengan benar, ditangkap dengan akal budi secara luas dan dicamkan di dalam hati secara mendalam sebagai dokumen yang penting dan mengikat dari Magisterium Gereja sendiri, semuanya di dalam jalur Traidisi Gereja … Saya sendiri merasa lebih berkewajiban untuk menunjukkan kepada Konsili itu sebagai rakhmat agung yang dicurahkan Allah kepada Gereja Abad Keduapuluh itu, di mana kita dapat menemukan penunjuk arah untuk dapat mengarungi abad yang sekarang baru akan mulai itu”[9]. Saya juga ingin menekankan dengan sangat sekali lagi, apa yang sudah saya katakan tentang konsili ini beberapa bulan setelah saya terpilih sebagai Paus Pengganti Petrus: ”Apabila, kita, menafsirkan dan mengimplementasikan Konsili itu dengan bimbingan suatu hermeneutika yang benar, maka Konsili itu bisa dan akan menjadi semakin berdaya bagi pembaharuan Gereja yang senantiasa diperlukan itu”[10].

6. Pembaruan Gereja juga bisa dilaksanakan melalui kesaksian yang diberikan oleh hidup umat beriman: yakni justru melalui cara-mengada mereka di dunia ini, Umat Kristiani dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang diwariskan Tuhan kepada kita. Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan ini: “Sedangkan Kristus, yang “suci, tanpa kesalahan, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih. 2Kor. 5:21), melainkan dating hanya untuk menebus dosa-dosa umat (lih Ibr 2:17), Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan,serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan. Gereja “dengan mengembara di antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju, sambil mewartakan salib dan wafat Tuhan ahingga Ia datang (lih 1Kor. 11:26). Tetapi Gereja diteguhkan oleh daya Tuhan yang telah bangkit, untuk dapat mengatasi sengsara dan kesulitannya, baik dari dalam maupun dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk dengan setia mewahyukan misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan pada akhir Zaman dalam cahaya yang penuh[11]. Dalam perspektif ini maka Tahun Suci itu adalah suatu panggilan kepada pertobatan yang otentik kembali kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia. Melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya, Allah telah menyatakan di dalam kepenuhannya kasih yang menyelamatkan dan memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa (lih. Kis. 5:31). Bagi Santo Paulus, kasih ini memasukkan kita ke dalam suatu kehidupan baru: “Kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom. 6:4). Melalui iman-kepercayaan, hidup yang baru ini membentuk seluruh keberadaan manusiawi kita dari akar-akarnya sesuai dengan keadaan baru sebagai buah kebangkitan. Sejauh manusia dengan bebas bekerja-sama, maka pikiran dan perasaan-perasaannya, mentalitas dan perilakunya sedikit demi sedikit akan dimurnikan dan ditransformasikan, dalam suatu perjalanan yang tidak akan pernah sepenuhnya selesai di dalam hidup ini. “hanya Iman yang bekerja oleh kasih” (Gal. 5:6) akan menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan tindakan yang mengubah seluruh hidup manusia (bdk. Rom. 12:2; Kol. 3:9-10; Ef. 4:20-29; 2Kor. 5:17).

7. “Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor. 5:14): Kasih Kristuslah yang memenuhi hati kita dan mendorong kita unutk berevangelisasi. Sekarang ini, seperti juga dulu, Kristus mengutus kita ke lorong-lorong dunia ini untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa di bumi (bdk, Mat, 28:16). Melalui kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya orang-orang dari segala keturunan: dalam setiap jaman Dia menghimpun Gereja sambil mempercayakan kepada Gereja itu pewartaan Injil dengan perintah-Nya yang senantiasa baru. Pada jaman sekarangpun dirasa adanya kebutuhan akan komitmen Gereja yang lebih kuat bagi suatu evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan kembali kegembiraan dalam percaya dan kegairahan dalam mengkomunikasikan iman itu, Dalam menemukan kembali kasih-Nya itu dari hari ke hari, keseiap-sediaan untuk diutus dari orang beriman ini mendapatkan kekuatan dan kegairahan yang tak akan pernah bisa pudar. Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalamann rakhmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab dia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi siapa saja yang mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada sabda-Nya dan menjadi murid-Nya. Orang yang percaya, demikian Santo Agustinus mengatakannya, “menguatkan dirinya sendiri dengan kepercayaannya itu”[12]. Santo Uskup dari Hippo itu memiliki alasan yang sungguh tepat untuk mengungkapkan dirinya seperti itu, karena sebagaimana kita tahu, hidupnya merupakan suatu pencarian terus-menerus akan keindahan iman-kepercayaan itu sampai saat ketika hatinya menemukan istirahat dalam Allah[13]. Karya tulisnya yang sangat ekstensif, di mana Agustinus memberi penjelasan tentang pentingnya percaya dan dan tentang kebenaran iman, sampai sekarang tetap merupakan warisan dengan kekayaan yang tiada taranya, dan tetap menjadi sarana bantu bagi banyak orang yang mencari Allah untuk menemukan jalan yang benar menuju “pintu kepada iman”.

Karena itu, hanya melalui percaya, iman dapat bertumbuh dan menjadi kuat; tidak ada kemungkinan lain untuk mendapatkan kepastian yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, selain dari pada meninggalkan diri sendiri dalam suatu crescendo yang terus-menerus, masuk ke dalam tangan-tangan kasih yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena memang bersal dari Allah.

8. Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara saya para Uskup dari se antero dunia untuk bergabung bersma dengan Pengganti Petrus selama masa yang penuh dengan rakhmat spiritual yang dianguerahkan Tuhan kepada kita ini, untuk mengingat anugerah iman yang sangat berharga itu. Kita hendak merayakan Tahun itu secara pantas dan menghasilkan buah. Renungan-renungan tentang iman hendaknya diintensifkan, untuk membantu segenap umat yang beriman kepada Kristus untuk mendapatkan kesadaran yang lebih baik dan secara lebih bersemangat melekatkan diri kepada Kabar Gembira, khususnya ketika sedang terjadi perubahan mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk mengakui iman-kepercayaan kita akan Tuhan yang bangkit di gereja-gereja katedral kita dan di dalam gereja-gereja di seluruh dunia; juga di rumah-rumah kita dan di antara kaum keluarga kita, sehingga setiap orang akan merasakan betapa perlunya pemahaman yang lebih baik dan kemudian untuk meneruskannya kepada generasi yang akan datang iman-kepercayaan segala jaman tersebut. Komunitas-komunitas biara seperti juga komunitas-komunitas paroki, dan semua lembaga-lembaga gerejawi, baik yang lama maupun yang baru, semuanya harus menemukan cara untuk, sepanjang Tahun itu, mengakui secara publik Credo kita.

9. Pada tahun ini kita hendak membangkitkan dalam diri setiap orang beriman aspirasi untuk mengakui iman-kepercayaannya dalam kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru, juga dengan penuh kepercayaan dan harapan. Tahun itu akan menjadi juga sebah kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan perayaan iman itu di dalam liturgi, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak ke mana seluruh kegiatan Gereja diarahkan … tetapi juga adalah sumber dari mana seluruh kekuatan Gereja itu … mengalir”[14]. Pada saat yang sama, kita berdoa juga agar kesaksian hidup umat beriman semakin dapat dipercaya. Untuk menemukan kembali isi iman yang diakui, dirayakan, dihayati dan didoakan[15], dan untuk merenungkan kembali kegiatan iman itu adalah tugas yang setiap umat beriman harus menjadikannya tugasnya sendiri, khususnya selama Tahun Iman ini. Bukan tanpa alasan umat Kristiani pada abad-abad pertama dituntut untuk menghafalkan pengkuan iman-kepercayaannya itu. Bagi mereka hal itu lalu berfungsi sebagai doa mereka setiap hari, agar mereka tidak melupakan komitmen yang telah mereka ikrarkan ketika mereka dibaptis. Dengan kata-kata yang sarat dengan makna, Santo Agustinus berbicara tentang hal ini dalam homili beliau tentang redditio symboli, tentang “penyerah-alihan pengakuan iman”, katanya: “Pengakuan iman dari misteri-misteri kudus yang telah kalian terima secara serentak dan yang pada hari ini telah kalian ucapkan kembali satu demi satu itu, adalah kata-kata di atas mana iman-kepercayaan Bunda Gereja didirikan dengan kokoh, pada landasan yang menetap, yang adalah Kristus, Tuhan sendiri. Kalian telah menerimanya, namun alian harus tetap memeliharanya di dalam akal-budi dan hati-sanubari kalian, kalian harus tetap mengulang-ulangnya di ranjang tempat tidur kalian, tetap mengingat-inganya di pasar-pasar, tidak melupakannya sementara kalian makan-makan, bahkan ketika kalian sedang tidurpun, kalian harus tetap memperhatikannya dengan hati kalian”[16].

10. Di sini saya ingin memberikan suatu garis besar dari sebuah sarana yang dimaksudkan untuk membantu kita memahami secara lebih mendalam, bukan saja isi muatan iman-kepercayaan itu, melainkan juga tindakan yang akan kita pilih untuk mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah dengan cara yang sebebas-bebasnya. Pada kenyataannya memang ada kesatuan yang mendalam antara tindakan dengan mana kita beriman dan muatan isi, kepadanya kita memberikan kesepakatan kita. Santo Paulus membantu kita memasuki kenyataan ini ketika dia menulis: “Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom. 10:10). Hati itulah yang menunjukkan bahwa tindakan pertama yang membawa seorang percaya adalah anugerah dari Allah dan tindakan rakhmat yang bergiat dan mengubah seseorang dari dalam.

Dalam kaitan ini secara khusus contoh dari Lydia menjadi sangat berarti. Santo Lukas menceriterakan, bahwa ketika berada di Filipi, pada suatu hari Sabbat, Paulus memberitakan Injil kepada beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis. 16:14). Di dalam ungkapan itu terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas mengajarkan, bahwa memahami muatan isi dari yang harus diimani tdaklah mencukupi, apabila hati, yakni tempat kudus yang khas dalam diri seseorang, tidak turut dibuka oleh rakhmat yang membuat mata bisa melihta apa yang ada di bawah permukaan dan mamahami, bahwa yang sedang diberitakan itu adalah Sabda Allah sendiri.

“Pengakuan dengan bibir” itu pada gilirannya menunjukkan, bahwa “beriman” itu mengandung juga pengertian “kesaksian secara publik” serta sebuah komitmen. Seorang Kristiani tidak pernah boleh berpikir bahwa beriman itu adalah urusan pribadi saja. Beriman berarti memilih untuk memihak kepada Allah dan dengan demikian berada dengan Dia juga. “Memihak kepada Dia” ini ke depan menunjuk kepada pemahaman akan alasan-alasan mengapa dia menjadi percaya. Iman-kepercayaan, justru karena dia adalah suatu tindakan yang bebas, juga menuntut pertanggungjawaban social aats apa yang diimaninya. Pada hari Pentakosta Gereja menunjukkan dengan sejelas-jelasnya dimensi publik dari keberimanan ini dan memberitakan dengan tanpa takut iman-keprcayaan seseorang kepada setiap orang. Anugerah Roh Kuduslah yang telah membuat kita siap untuk diutus dan menguatkan kesaksian kita serta menjadikannya terus-terang dan berani.

Pengakuan iman adalah suatu tindakan yang sekaligus bersifat perseorangan sendiri-sendiri, tetapi juga secara berkomunitas bersama-sama. Gerejalah yang sebenarnya pertama-tama menjadi subjek iman-kepercayaan. Di dalam iman-kepercayaan dari komunitas kristiani, setiap pribadi individual menerima baptisan, suatu tanda yang effektif masuknya ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh keselamatan. Dalam buku Katekismus Gereja Katolik, kita membaca: "Aku percaya", itulah iman Gereja, sebagaimana setiap orang beriman mengakui secara pribadi, terutama pada waktu Pembaptisan. "Kami percaya" itulah iman Gereja, sebagaimana para Uskup yang berkumpul dalam konsili itu mengakui, atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui dalam liturgi. "Aku percaya": demikianlah juga Gereja, ibu kita berbicara, yang menjawab Allah melalui imannya dan yang mengajar kita berkata: "aku percaya", "kami percaya"[17].

Jelas sekali, bahwa pengetahuan akan isi iman-kepercayaan adalah hakiki bagi seseorang untuk dapat memberikan persetujuannya, artinya untuk mengikatkan diri sepenuhnya, dengan segenap akal-budi dan kehendaknya, kepada apa yang ditawarkan oleh Gereja. Pengetahuan akan iman-keprcayaan ini membuka pintu masuk ke dalam kepenuhan misteri karya penyelamtan yang diwahyukan oleh Allah. Persetujuan yang kita berikan itu berarti pula, bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan bebas seluruh misteri iman-kepercayaan, sebab penjamin dari kebenarannya adalah Allah sendiri, yang mewahyukan dirinya sendiri dan mengijinkan kita mengetahui misteri cinta-kasih-Nya [18].

Di pihak lain, kita tidak boleh melupakan, bahwa di dalam konteks budaya kita, ada banyak bangsa, yang meskipun tidak meng-claim memiliki anugerah iman itu, namun secara tulus mereka mencari arti makna yang tertinggi dan kebenaran yang pasti dari hidup dan dunia mereka. Pencarian ini merupakan “pendahuluan” yang otentik kepada iman-kepercayaan, justru karean ia menuntun orang pada jalan yang membawanya ke misteri Allah. Sebenarnya akal-budi manusia mengandung di dalam dirinya tuntutan pada “apa yang selamanya sahih dan langgeng”[19]. Tuntutan ini mengandung suatu panggilan yang menetap, karena terpatri secara tak-terhapuskan di dalam hati manusia, yang membuatnya bergerak mencari Dia yang kita tidak akan mencarinya seandainya Dia sudah tidak lebih dahulu bergerak untuk mendapatkan kita[20]. Pada perjumpaan inilah iman-kepercayaan mengundang kita dan membuka diri kita sepenuh-penuhnya.

11. Untuk sampai pada pemahaman yang sistematik pada isi iman-kepercayaan itu, semua orang dapat menemukannya di dalam buku Katekismus Gereja Katolik, suatu sarana-bantu yang sangat berharga dan taktergantikan. Dokumen itu dalah satu dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan Kedua. Dalam Konstitusi Apostolik Fidei Drpositum, yang ditandatangani, bukan hanya karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ke tiga-puluh Pembukaan Konsili Vatikan Kedua. Beato Yohanes Paulus II menulis: ”Katekismus ini akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya pembaruan seluruh kehidupan Gereja … Maka saya menyatakan katekismus itu menjadi suatu sarana-bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi dan menjadi norma yang pasti bagi pengajaran iman”[21].
Dalam arti inilah bahwa Tahun Iman itu harus mengupayakan suatu usaha terpadu untuk menemukan kembali dan untuk mempelajari isi muatan fundamental dair iman-kepercayaan yang sekarang disintesekan secara sistematis dan secara organis di dalam Katekismus Gereja Katolik. Di sinilah, sebenarnya, kita melihat kekayaan ajaran yang telah diterima oleh Gereja, dijaga dan diwartakan sepanjang dua ribu tahun sejarah keberadaannya. Dari Kitab Suci, sampai ke Para Bapa-bapa Gereja, dari para pakar teologi sampai ke para kudus sepanjang segala abad, Katekismus ini memberikan rekaman yang menetap dari banyak cara yang dipergunakan Gereja untuk merenungkan iman itu dan berkembang maju dalam ajaran, dan dengan demikian kepastian bagi para beriman dalam kehidupan beriman mereka.

Dalam strukturnya yang seperti itu Katekismus Gereja Katolik ini mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman, kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental di mana Kristus hadir, bergiat dan melanjutkan karya-Nya membangun Gereja. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan itu akan kehilangan efikasitasnya, sebab dia akan kehilangan rakhmat yang mendukung kesaksiannya secara Krisriani. Melalui kriterium yang sama, ajaran dari Katekismus ini tentang kehidupan moral mendapatkan artinya yang penuh, apabila memang ditempatkan dalam keterikatannya dengan iman-kepercayaan, liturgi dan doa.

12. Maka dari itu dalam Tahun Iman itu nanti, Katekismus Gereja Katolik itu akan dipergunakan sebagai sarana bantu untuk memberikan dukungan yang nyata bagi iman-kepercayaan, terutama bagi mereka yang terkait dengan pembinaan umat kristiani, yang berada dalam saat sangat krusial dalam konteks budaya kita. Untuk maksud itu saya telah mengundang Kongregasi Untuk Ajaran Iman, dalam kesepakatan dengan Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk mempersiapkan sebuah Nota, yang akan memberikan arahan-arahan kepada umat beriman Gereja dan perseorangan tentang bagaimana harus menghayati Tahun Iman itu secara yang se-efektif dan se-tepat mungkin bagi kepentingan iman-kepercayaan dan pewartaan.

Dalam skala yang lebih besar dari pada di masa lampau, sekarang ini iman dihantam dengan serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu sikap dasar yang sudah berubah, yang, khususnya dewasa ini, bidang kepastian-kepastian rasional diberi pembatasan-pembatasan terhadap penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi. Namun demikian, Gereja tidak pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa tidak mugkin ada pertentangan antara iman dan ilmu yang sejati, sebab keduanya, kendatipun jalur yang ditempuh berbeda, mengarah menuju kepada kebenaran[22].

13. Satu hal yang akan sangat menentukan dalam tahun Iman itu adalah, bila kita menelusuri sejarah iman kita yang sebenarnya ditandai dengan misteri yang takterkatakan dari keterjalinan antara kesucian dan dosa. Sementara yang pertama menyoroti kontribusi besar yang diprestasikan oleh laki-laki atau perempuan bagi pertumbuhan dan perkembangan persekutuan melalui kesaksian hidup mereka, yang kedua harus menantang dari setiap orang suatu kerja yang tulus dan berlanjut dari pertobatan untuk mengalami belas-kasih Bapa, yang dtawarkan kepada semua orang,

Selama waktu itu kita akan harus tetap memandang Yesus Kristus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2): di dalam Dia, semua kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia mendapatkan pemenuhannya. Sukacita dari kasih, jawaban atas drama penderitaan dan kesakitan, kekuatan dari pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang diterima dan kemenangan hidup atas kehampaan kematian: semuanya itu mendapatkan kepenuhannya di dalam misteri inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi manusia, ketika Dia mengambil-bagian di dalam kelemahan manusiawi kita, sehingga semuanya itu ditransformasikan-Nya melalui kekuatan dari kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang telah mati lalu bangkit kembali demi keselamatan kita itu, contoh teladan iman-kepercayaan yang telah menandai dua ribu tahun sejarah keselamatan kita ini mendapatkan pencerahan yang sepenuh-penuhnya.

Dengan iman, Maria menerima kata-kata Malaekat dan percaya kepada pesan bahwa dia akan menjadi Bunda Allah dalam ketaatan dari kesalehannya (bdk. Luk. 1:38). Ketika mengunjungi Elizabet, dia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi karena karya ajaib yang telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang menaruh kepercayaan kepada-Nya (bdk. Luk. 1:46-55), Dengan sukacita dan kegentaran dai melahirkan anaknya yang tunggal, dengan keperawanannya yang tetap tak ternoda (bdk. Luk.2:6-7). Sambil tetap mempercayai Yusuf, suaminya, ia membawa Yesus ke Mesir untuk menyelamatkan-Nya dari pengejaran Herodes (bdk. Mat, 2:15-17). Dengan kepercayaan yang sama, ia mengikuti Tuhan dalam pewartaan-Nya dan tetap menyertai-Nya sampai ke Golgota (bdk. Yoh. 19:25-27). Dengan iman-kepercayaannya, Maria mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan sambil tetap menyimpan setiap kenangan di dalam hatinya (bdk. Luk. 2:19,51). Ia menyerah-alihkan itu kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul di ruang atas untuk menerima Roh Kudus (bdk. Kis, 114-2:1-4).

Dengan iman, para rasul telah meninggalkan semuanya dan mengikuti Tuhan mereka (bdk. Mat. 10:28). Mereka percaya kepada kata-kata yang diwartakan-Nya tentang Kerajaan Allah yang telah datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (bdk. Luk. 11:20). Mereka hidup dalam persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan ajaran-Nya, dengan mewariskan kepada mereka suatu peraturan hidup, dengan mana mereka akan dikenal sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (bdk. Yoh. 13:34-35). Dengan iman, mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti perintah-Nya untuk mewartakan Kabar Gembira ke pada semua ciptaan (bdk. Mrk. 16:15) dan dengan tanpa takut mereka mewartakan kepada semua orang sukacita kebangkitan, tentangnya mereka adalah saksi-saksinya yang setia.

Dengan iman, para murid membentuk komunitas yang pertama, yang dihimpun di sekeliling ajaran para rasul, di dalam doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan kepunyaan mereka sebagai milik bersama dan dengan demikian mereka memenuhi kebutuhan saudara-saudara (bdk. Kis. 2:42-47).

Dengan iman, para martir menyerahkan hidup mereka, sambil memberi kesaksian pada kebenaran Injil yang telah mengubah hidup mereka dan membuat mereka mampu mendapatkan anugerah terbesar dari cinta-kasih: yakni pengampunan kepada para penganiaya mereka.

Dengan iman, pria dan wanita telah membaktikan hidup mereka di dalam Kristus, sambil meninggalkan segala sesuatu, untuk dapat hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dalam kesederhanaan injili, sebagai tanda nyata dari penantian mereka akan kedatangan Tuhan yang tidak akan tertunda. Dengan iman, tak terbilang banyaknya orang kristiani telah memajukan tindakan bagi keadilan sehingga dengan demikian mereka melaksanakan sabda Tuhan, yang datang untuk mewartakan pembebasan dari semua penindasan dan mewartakan kedatangan suatu tahun penuh kebaikan bagi semua orang (bdk. Luk. 4:18-19).

Dengan iman, sepanjang abad-abad, pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat di dalam Kitab Kehidupan (bdk.Why. 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan hal mengikuti Tuhan Yesus kemanapun mereka dipanggil untuk memberi kesaksian pada kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang kristiani: di dalam keluarga, di tempat kerja, dalam kehidupan publik, dalam menjalankan kharisma dan pelayanan yang menjadi panggilan hdiup mereka.

Dengan iman, kita juga hidup: sambil menghayati pengakuan kita kepada Tuhan Yesus, yang hadir di dalam hidup kita dan sejarah kita.

14. Tahun Iman itu juga akan menjadi stau kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan kesaksian amal-kasih, sebagaimana diingatkan oleh Santo Paulus kepada kita: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (Kor. 13:13).
Dengan kata-kata yang lebih kuat, ‒yang senantiasa telah menempatkan orang Kristiani di bawah kewajiban,‒ Santo Jakobus mengatakan: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." (Yak. 2:14-18).

Iman tanpa kasih tidak akan menghasilkan buah, sedang kasih tanpa iman hanya akan merupakan suatu perasaan yang senantiasa berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan kasih saling membutuhkan satu sama lain, sedemikian sehingga yang satu akan membiarkan yang lain untuk tampil menurut jalurnya sendiri-sendiri. Memang, banyak orang kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi mereka yang tersendiri, yang termarginalkan atau yang terkucilkan, sebagiamana juga bagi mereka yang pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi kita untuk dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah nampak cerminan wajah Kristus sendiri. Melalui iman kita dapat mengenal wajah Tuhan yang bangkit di dalam diri mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kata-kata ini haruslah menjadi peringatan yang tidak boleh dilupakan dan harus menjadi undangan yang menetap bagi kita untuk membalas kasih dengan mana Tuhan telah senantiasa memperhatikan kita. Imanlah yang memampukan kita mengenal Kristus dan kasih-Nyalah yang mendorong kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi sesama yang kita jumpai dalam perjalanan hidup kita. Dikuatkan oleh iman, marilah kita memandang kepada komitmen kita di dunia ini sambiil menantikan “surga baru dan dunia baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13; bdk. Why. 21:1).

15. Ketika sampai pada akhir hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk “mengejar iman” (lih. 2Tim. 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia masih muda (bdk. 2Tim. 3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada masing-masing kita, supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di dalam iman. Iman yang menjadi pendamping seumur hidup inilah yang membuat kita mampu untuk memahami, setiap kali secara baru, karya-karya ajaib Tuhan bagi kita. Sambil senantiasa peka terhadap tanda-tanda jaman yang terhimpun di dalam sejarah kita di masa sekarang ini, iman itu membuat masing-masing kita sendiri menjadi tanda dari kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia kita ini. Apa yang secara khusus dibutuhkan oleh dunia kita sekarang ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang yang mendapatkan pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh sabda Tuhan dan kemudian mampu membuka hati dan budi bagi banyak orang lain untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, hidup yang kekal abadi.

“Supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes. 3:1): semoga Tahun Iman ini membuat hubungan kita dengan Krsitus, Tuhan, semakin bertambah kuat, karena hanya di dalam Dialah ada kepastian untuk memandang masa depan dan ada jaminan dari kasih yang sejati dan lestari. Semoga kata-kata Santo Petrus ini akan dapat memberikan seberkas pencahayaan yang terakhir atas iman ini: “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu -- yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api -- sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr. 1:6-9) Hidup umat kristiani mengenal baik pengalaman sukacita maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang hidup di dalam kesunyian. Betapa banyak umat beriman, juga sampai pada hari ini, dicoai oleh berdiamnya Allah, sementara mereka lebih merindukan mendengar suara-Nya yang menghibur. Percobaan-percobaan hidup, sementara mereka memang membantu kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil-bagian dalam penderitaan Kristus (bdk. Kol. 1:24), menjadi juga suatu pendahuluan kepada sukacita dan harapan ke mana iman juga mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercyaan yang pasti ini kita mempercayakan diri kita kepada-Nya: Dia, yang hadir di tengah-tengah kita, mengalahkan kekuatan si jahat itu (bdk. Luk. 11:20) dan Gereja, persekutan yang nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai suatu tanda dari rekonsiliasi yang definitif dengan Bapa.

Marilah kita mempercayakan saat rakhmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai yang “berbahagialah ia, yang telah percaya“ (Luk. 1:45)

Dikeluarkan di Roma, dari Basilika Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun kepausan saya yang ke tujuh.

BENEDIKTUS XVI, PAUS


[1] Homili pada awal menjabat sebagai Uskup Roma dalam pelayanan sebagai pengganti Petrus (24 April 2005):AAS 97 (2005), 710.

[2]Lih. Benedictus XVI, Homili dalam Misa “Terreiro do Paço” di Lisabon, (11 Mai 2010); Insegnamenti VI: 1 (2010), 673.

[3] Lih. Joannes Paulus II, Konstitusi ApostolikFidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 113-118.


[4] Lih. Laporan terakhir Sinode Luar Biasa II Para Uskup (7 Desember 1985), II, B, a, 4 in Enchiridion Vaticanum, ix, n. 1797.

[5] Paulus VI, Ekshortasi Apostolik Petrum et Paulum Apostolos pada perayaan XIX abad kemartiran St Petrus dan Paulus (22 Februari 1967): AAS 59 (1967), 196.

[6] Ibid., 198.

[7] Paulus VI, Credo Umat Allah, Homilidalam Misa pada perayaan XIX abad kemartiran St Petrus dan Paulus pada penutupan “Tahun Iman” (30 Juni 1968): AAS60 (1968), 433-445.

[8] PaulusVI, Audiensi Umum (14 Juni 1967): Insegnamenti V (1967), 801.

[9] Joannes Paulus II,Surat ApostolikNovo Millennio Ineunte(6 Januari 2001), 57: AAS 93 (2001), 308

[10] Sambutan kepada Curia Romana, (22 Desember 2005): AAS 98 (2006), 52.

[11] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstiotusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 8.

[12] De Utilitate Credendi, I:2.

[13] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Lityurgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10.

[14] KOnsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10.

[15]Lih.. Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 116.

[16]Sermo 215:1.

[17]Katekismus Gereja Katolik, 167.

[18] Lih.Konsili ekumenis Vatikan I, Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik, Dei Filius, Bab. III: DS 3008-3009: Konsili ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum, 5.

[19]Benediktus XVI, Sambutan di Collège des Bernardins, Paris (12 September 2008): AAS100 (2008), 722.


[20]Lih.. Santo Augustinus, Confessions, XIII:1.

[21]Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 115 dan 117.


[22]Lih. Joannes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 34, 106: AAS 91 (1999), 31-32, 86-87.

terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy