Tujuan Hidup Perkawinan dan Keluarga

Dear all,
Saat mau menulis artikel tentang mitos tujuan hidup perkawinan & keluarga: "mencari kebahagiaan" ini, rasanya ada sebuah pertanyaan yang mengganjal, "Apa kompetensi saya sebagai imam yang hidup selibat, berbicara tentang hidup perkawinan dan keluarga?" Bukankah saya tidak jadi pelaku hidup perkawinan?" Memang benar, bahwa saya bukan pelaku yang menikah dan hidup dalam perkawinan, tetapi saya dibesarkan, tumbuh dan berkembang, separo lebih dari umur saya, berlangsung dalam hidup perkawinan dan keluarga ayah ibuku.

Dalam perjalanan waktu, sampai ayahku wafat 2001 menyusul adikku bungsu, Mas Sugeng + 2004, ada banyak jatuh bangun dalam membangun hidup perkawinan dan keluarga. "Jatuh bangun" yang sering terjadi dalam refleksi yang dibuat beberapa kali, biasanya adalah persoalan moral: siapa benar, siapa salah; soal merasa terpaksa, karena yang satu bicara keras, dan yang lain tidak bisa berkata tidak; persoalan kekecewaan, karena pasangan hidup atau anak ternyata tidak memenuhi harapan orang tua, atau sebaliknya, orang tua toh mudah bicara ketus kepada anaknya. Lebih lagi, persoalan antara kebiasaan berdoa setiap hari dalam keluarga dan suasana keluarga yang formal kurang ramah dan hangat. Mengapa hidup keluarga yang diharapkan belum jadi kenyataan setelah bertahun tahun berdoa, membaca kitab suci, rajin ke Gereja, aktif di Paroki dan di lingkungan masayarakat, ternyata kok belum bisa menciptakan keluarga yang bahagia: hangat dan ramah?

Pertanyaan reflektif itu menjadi pertanyaan bersama dalam keluarga waktu itu tahun 1997 setelah saya lulus ujian di Fakultas teologi. Pertanyaan itu membuat kami sekeluarga berpikir lagi, apa tujuan hidup keluarga. Dicari cari dalam kitab suci maupun dalam ajaran Gereja tentang keluarga, ternyata, kami salah memahami tujuan hidup keluarga. Tujuan hidup keluarga itu bukan untuk saling membahagiakan, melainkan semestinya bertujuan membangun persekutuan kasih! Suami isteri dipanggil untuk menjadi tanda kehadiran Allah yang mencintai. Cinta itu diwujudkan bukan untuk mencari kebahagiaan melainkan agar terwujudlah peran suami isteri, orang tua dan anak untuk menjadi citra Allah. Citra itu artinya menjadi "tanda", "cermin", representasi. Allah yang menjadi citra manusia itu adalah kasih. Karena itu tugas orang tua dan anak adalah menghadirkan cinta Tuhan yang merawat hidup, saling memaafkan tanpa menghakimi, dan saling menemani dalam suka duka tanpa mau menguasai orang lain. Karena itu salah satu perubahan yang dibuat adalah belajar "menawarkan" dalam berbagai kesempatan. Misalnya, "Mas, bisa nolong Bapak atau tidak, untuk membelikan buku ini? ; Pak, sepatu saya rusak, apa saya bisa membeli yang baru? Dhe, bisa bantu Ibu susun menu minggu depan apa nggak? " Berbagai pertanyaan yang menawarkan pilihan itulah, yang membuat suasana keluarga makin terasa hangat.

Dari pengalaman hidup bersama yang memungkinkan orang ambil keputusan sendiri, itulah suasana hidup yang akhirnya membuat orang merasa kehangatan. Di sisi lain, hidup bersama itu menantang orang untuk belajar kecewa dan menanggung resiko, bila keinginannya tidak terpenuhi. Dengan kebiasaan "menawarkan" , tumbuhlah RUANG HIDUP untuk mengasihi satu dengan yang lain.

Warm regards
B. Slamet Lasmunadi, Pr




Bagikan

terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy